Infosehatkeluarga.com | Penyakit Epilepsi – Orang tua mana yang tidak merasa cemas jika tiba-tiba melihat anaknya kejang-kejang, dan setelah diperiksa oleh dokter dinyatakan menderita epilepsi atau penyakit ayan.
Banyak orang berasumsi bahwa penyakit epilepsi atau biasanya dikenal dengan istilah ayan ini hanya satu jenis dan satu sebab yakni kejang-kejang. Padahal, epilepsi sendiri memiliki klasifikasi-klasifikasinya sendiri di mana kejang-kejang ialah epilepsi yang sudah pada klasifikasi kedua.
Pengertian Penyakit Epilepsi
Nah, apakah itu epilepsi?
Menurut wikipedia:
Ayan atau epilepsi adalah penyakit saraf menahun yang menimbulkan serangan mendadak berulang-ulang tak beralasan. Kata ‘epilepsi’ berasal dari bahasa Yunani (Epilepsia) yang berarti ‘serangan’.
Wikipedia
Epilepsi atau penyakit Ayan adalah suatu gangguan pada sistem syaraf otak manusia karena terjadinya aktivitas yang berlebihan dari sekelompok sel neuron pada otak sehingga menyebabkan berbagai reaksi pada tubuh manusia mulai dari bengong sesaat, kesemutan, gangguan kesadaran, kejang-kejang dan atau kontraksi otot.
Penyakit epilepsi atau ayan atau sawan merupakan penyakit yang dapat terjadi pada siapapun walaupun dari garis keturunan tidak ada yang pernah mengalami epilepsi.
Penyakit epilepsi atau ayan adalah penyakit yang berbahaya karena sewaktu-waktu bisa menyerang. Bila sudah terkena penyakit epilepsi ini, harus waspada karena di mana saja penyakit epilepsi ini bisa kambuh dan bila tidak ada orang yang menolong maka bisa berakibat fatal bagi penderitanya.
Penyebab Penyakit epilepsi / ayan.
Soal penyebab penyakit epilepsi memang belum diketahui secara jelas. Penyakit epilepsi / ayan bisa terjadi karena faktor genetika namun bukanlah penyakit keturunan.
Selain itu, kerusakan otak ketika proses kelahiran, stroke, luka kepala, tumor otak dan pengaruh alkohol merupakan penyebab penyakit epilepsi.
Otak memiliki jutaan sel syaraf yang disebut sebagai neuron yang berfungsi sebagai koordinator di dalam tubuh agar kita bisa beraktivitas yang mencakup melihat, berpikir, bergerak dan bahkan perasaan kita.
Namun, pada penderita penyakit epilepsi, karena beberapa penyebab epilepsi yang telah disebutkan tadi syaraf-syaraf tersebut kadang tidak bekerja sebagaimana mestinya.
Jadi pada intinya, meskipun sebagian kasus epilepsi tidak diketahui penyebabnya. Pada sebagian lainnya, epilepsi dapat berkaitan dengan berbagai faktor :
- Pengaruh genetik. Beberapa jenis epilepsi, yang dikategorikan sebagai kejang, diturunkan di dalam keluarga, sehingga mungkin sekali ada pengaruh genetik. Pada sebagian besar orang, faktor genetik hanya merupakan salah satu bagian dari penyebab terjadinya epilepsi, yang membuat seseorang lebih rentan terhadap faktor lingkungan yang memicu terjadinya kejang.
- Trauma kepala
- Gangguan medis lain, seperti stroke atau serangan jantung, yang menyebabkan kerusakan pada otak
- Demensia merupakan penyebab tersering epilepsi pada orang tua.
- Penyakit, seperti meningitis, AIDS, dan ensefalitis virus
- Cedera sebelum lahir. Sebelum dilahirkan, bayi rentan untuk mengalami kerusakan otak, yang dapat disebabkan oleh infeksi pada ibu, nutrisi yang buruk, atau kekurangan oksigen. Hal ini dapat menyebabkan palsy serebral pada anak. Sekitar 20% kejang pada anak-anak berhubungan dengan palsy serebral.
- Gangguan perkembangan. Epilepsi terkadang dapat berhubungan dengan gangguan perkembangan, seperti autisme dan sindroma Down.
Faktor-Faktor pencetus Epilepsi:
Faktor-faktor pencetus penyakit epilepsi dapat berupa :
- kurang tidur
- stress emosional
- infeksi
- obat-obat tertentu
- alcohol
- perubahan hormonal
- terlalu lelah
- fotosensitif
Gejala Penyakit Epilepsi
Gejala atau Tanda-Tanda Penyakit Epilepsi pada umumnya:
- Jadi pusing.
- Pandangan mata berkunang-kunang.
- Alat pendengaran kurang sempurna.
- Keluar keringat terlalu berlebih serta mulut keluar busa.
- Pasien jatuh pingsan diiringi dengan jeritan.
- Seluruh urat-urat mengejang.
- Lengan serta tungkai menjulur kaku.
- Tangan menggenggam dengan jamantnya.
- Seringkali lidah luka tergigit dikarenakan rahang terkatup rapat.
- Si pasien sukar bernafas serta muka merah atau kebiru-biruan .
Perbedaan gejala yang terjadi tergantung jenis kejang-kejang. Pada banyak kasus, orang dengan epilepsi akan cenderung memiliki jenis kejang-kejang yang sama setiap waktu, jadi gejala yang terjadi akan sama dari kejadian ke kejadian.
Dokter mengklasifikasikan kejang-kejang secara parsial atau general, berdasarkan bagaimana aktivitas otak yang tidak normal dimulai. Pada beberapa kasus, kejang-kejang dapat dimulai secara parsial dan kemudian menjadi general.
Kejang-kejang parsial (sebagian)
Ketika kejang-kejang muncul sebagai hasil dari aktifitas otak yang tidak normal pada satu bagian otak tersebut, ilmuan menyebutnya kejang-kejang parsial atau sebagian. Kejang-kejang jenis ini terdiri dari dua kategori.
- Simple partial seizures (kejang-kejang parsial sederhana). Kejang-kejang ini tidak menghasilkan kehilangan kesadaran. Kejang-kejang ini mungkin akan mengubah emosi atau berubahnya cara memandang, mencium, merasakan, mengecap, atau mendengar. Kejang-kejang ini bisa juga menghasilkan hentakan bagian tubuh secara tidak sengaja, seperti tangan atau kaki, dan gejala sensorik secara spontan seperti perasaan geli, vertigo dan berkedip terhadap cahaya.
- Complex partial seizures (kejang-kejang parsial kompleks). Kejang-kejang ini menghasilkan perubahan kesadaran, itu karena anda kehilangan kewaspadaan selama beberapa waktu.
Kejang-kejang general
Kejang-kejang yang melibatkan seluruh bagian otak disebut kejang-kejang general. Empat tipe dari kejang-kejang general adalah:
- Absence seizures (juga disebut petit mal). Kejang-kejang ini memiliki dikarakteristikan oleh gerakan tubuh yang halus dan mencolok, dan dapat menyebabkan hilangnya kesadaran secara singkat.
- Myoclonic seizures. Kejang-kejang ini biasanya menyebabkan hentakan atau kedutan secara tiba-tiba pada tangan dan kaki.
- Atonic seizures. Juga dikenal dengan drop attack, kejang-kejang ini menyebabkan hilangnya keselarasan dengan otot-otot dan dengan tiba-tiba collapse dan terjatuh.
- Tonic-clonic seizures (juga disebut grand mal). Kejang-kejang yang memiliki intensitas yang paling sering terjadi. Memiliki karakteristik dengan hilangnya kesadaran, kaku dan gemetar, dan hilangnya kontrol terhadap kandung kemih.
Penanganan Penyakit Epilepsi.
Penyandang epilepsi harus segera mengambil pengobatan yang tepat dan teratur. Pasalnya, bila dibiarkan kualitas hidup penyandang epilepsi bisa berkurang.
Apalagi ditambah stigma negatif yang masih melekat di masyarakat seperti penyakit kutukan, di-‘guna-guna’, kerasukan setan, gangguan jiwa dan penyakit yang menular melalui air liur, yang semakin memperburuk kondisi penyandang epilepsi.
Bahkan tak jarang, karena stigma tersebut penyandang dikucilkan masyarakat dan potensinya tak dianggap.
Padahal pandangan itu sudah tentu keliru. Epilepsi itu bukanlah penyakit turunan dan bisa menular lewat air liur dan lain-lain. Informasi yang benar ialah, penyandang epilepsi juga bisa sembuh dan melanjutkan aktivitas seperti orang normal lainnya.
Pengobatan Penyakit Epilepsi.
Jika Penyakit epilepsi tersebut penyebabnya adalah tumor, infeksi atau kadar gula maupun natrium yang abnormal, maka keadaan tersebut harus diobati terlebih dahulu. Jika keadaan tersebut sudah teratasi, maka kejangnya sendiri tidak memerlukan pengobatan.
Jika penyebabnya tidak dapat disembuhkan atau dikendalikan secara total, maka diperlukan obat anti-kejang untuk mencegah terjadinya kejang lanjutan.
Sekitar sepertiga penderita mengalami kejang kambuhan, sisanya biasanya hanya mengalami 1 kali serangan. Obat-obatan biasanya diberikan kepada penderita yang mengalami kejang kambuhan. Status epileptikus merupakan keadaan darurat, karena itu obat anti-kejang diberikan dalam dosis tinggi secara intravena.
Obat anti-kejang sangat efektif, tetapi juga bisa menimbulkan efek samping.
Salah satu di antaranya adalah menimbulkan kantuk, sedangkan pada anak-anak menyebabkan hiperaktivitas. Dilakukan pemeriksaan darah secara rutin untuk memantau fungsi ginjal, hati dan sel -sel darah.
Obat anti-kejang diminum berdasarkan resep dari dokter. Pemakaian obat lain bersamaan dengan obat anti-kejang harus seizin dan sepengetahuan dokter, karena bisa merubah jumlah obat anti-kejang di dalam darah.
Keluarga penderita hendaknya dilatih untuk membantu penderita jika terjadi serangan epilepsi. Langkah yang penting adalah menjaga agar penderita tidak terjatuh, melonggarkan pakaiannya (terutama di daerah leher) dan memasang bantal di bawah kepala penderita.
Jika penderita tidak sadarkan diri, sebaiknya posisinya dimiringkan agar lebih mudah bernafas dan tidak boleh ditinggalkan sendirian sampai benar-benar sadar dan bisa bergerak secara normal.
Jika ditemukan kelainan otak yang terbatas, biasanya dilakukan pembedahan untuk mengangkat serat-serat saraf yang menghubungkan kedua sisi otak (korpus kalosum). Pembedahan dilakukan jika obat tidak berhasil mengatasi epilepsi atau efek sampingnya tidak dapat ditoleransi.
Kaitan Epilepsi dengan Sistem kekebalan Tubuh yang Abnormal
Pada tahun 1997, sekelompok ilmuwan meneliti total 135 orang dengan epilepsi. Lebih dari 80% dari orang-orang ini memiliki satu atau lebih kelainan dalam pertahanan kekebalan selular mereka. Beberapa jenis epilepsi dapat disebabkan oleh gangguan imunitas.
Korelasi Kejang dan Epilepsi Dengan Gangguan Imunitas
Pada tahun 2009 Science Daily mempublikasikan sebuah liputan terhadap penelitian Universitas Colorado yang dirangkum dalam artikel berjudul “Brain’s Immune System May Cause Chronic Seizure”.
Di liputan tersebut dijelaskan bahwa epilepsi bisa disebabkan bahan kimia yang dilepaskan oleh salah satu elemen penyusun sistem kekebalan untuk memperbaiki daerah otak yang rusak.
Peneliti menemukan bahwa sel micro-glial berkumpul di daerah otak yang mengalami kerusakan. Kepala penelitian professor Daniel Barth mengatakan bahwa pada saat terjadi kerusakan atau infeksi otak, sistem kekebalan akan mencoba memperbaiki kerusakan tersebut.
Selama proses ini terjadi, sel glial berpindah ke lokasi kerusakan dan melepaskan cytokine, semacam protein yang sayangnya mempunyai pengaruh buruk pada sel-sel neuron disekitarnya sehingga mengakibatkan kejang.
Dalam penelitian tersebut, tim peneliti melakukan serangkaian pengujian terhadap tikus laboratorium dimana dalam penelitian tersebut, otak tikus-tikus tersebut disuntik bakteri untuk mengaktifkan sel-sel micro glial.
Tim peneliti percaya bahwa respons tahap awal sistem kekebalan tahap awal pada kasus trauma otak ini bisa menyebabkan kejang yang pertama. Pada respon tahap selanjutnya (proses ini bisa berjalan selama bertahun tahun) ada kemungkinan terjadi perubahan struktural pada otak yang bisa berkembang menjadi epilepsi kronis (seumur hidup).
Barth mengatakan bahwa ada kemungkinan jika dilakukan intervensi pada saat yang tepat setelah terjadinya trauma dalam bentuk obat pengatur respon imunitas (immuno modulator), proses yang mengarah pada terbentuknya gejala epilepsi bisa dicegah.
Masih menurut Barth, daripada memberikan obat anti kejang sekalian saja diberikan obat anti immune yang bisa mencegah proses terjadinya epilepsi.
Ini adalah temuan baru sebab selama bertahun-tahun para peneliti hanya memfokuskan penelitian pada neuron (sel-sel saraf) yang selama ini diduga menjadi penyebab langsung epilepsi yang sering diumpamakan sebagai badai petir mikro di dalam otak.
Pada karya ilmiah yang dipublikasikan oleh Cojocaru ada bukti yang berkembang yang mengindikasikan peranan mekanisme auto immune pada beberapa kasus epilepsi baik epilepsi yang terjadi pada anak, epilepsi yang menyertai penyakit auto immune lain nya (lupus, alzheimer, dan lain-lain), maupun epilepsi yang dikaitkan dengan benturan di kepala.
Baru-baru ini auto immunitas ditengarai mempunyai kaitan dengan epilepsi karena ada hasil-hasil penelitian yang mendeteksi munculnya auto-antibodies yang berpotensi menyebabkan epilepsi.
Sudah umum diketahui bahwa jika sebuah auto-antibodi terdapat pada seseorang, besar kemungkinan autoantibody yang lain juga akan ditemukan. Jadi ada kemungkinan bahwa kumpulan auto-antibodi tersebut lah yang menyebabkan epilepsi tersebut.
Sebagai contoh kasus, disebut adanya kaitan antara epilepsi dan penyakit lupus (Systemic Lupus Erythematosus – SLE).
Sebagai referensi statistik, hingga 20% penderita Lupus pernah mengalami epilepsi. 5 – 10% penderita lupus pernah menderita epilepsi beberapa tahun sebelum dinyatakan positif menderita lupus. Hasil statistic ini menyimpulkan bahwa penderita lupus 8 kali lebih mungkin menderita epilepsi daripada orang kebanyakan.
Tingginya prevalensi epilepsi pada beberapa penyakit auto immune membuat ilmuwan semakin meyakini adanya kaitan antara keduanya.
Contoh lainnya adalah seringnya pasien Alzheimer mendapatkan serangan kejang epilepsi, dimana sudah umum diketahui bahwa pada pada pasien Alzheimer terjadi proses inflammatory neurotoxic.
Selain Lupus dan Alzheimer, pasien multiple sclerosis juga kadang-kadang mengalami epilepsi yang lebih partial. Sebagai catatan, multiple sclerosis juga merupakan penyakit auto-immune.
Demikianlah artikel mengenai penyakit epilepsi, semoga bermanfaat.